Sejarah Masakan Jawa Tengah

Asal Mula Gudeg Yogyakarta 



Makanan Gudeg adalah makanan khas Jogja yang cukup terkenal yang terbuat dari nangka muda atau dari bunga kelapa.
Sejarah Awal Asal Usul Makanan Gudeg
Di sebuah sudut kota jogja pada jaman penjajahan Inggris tinggalah seorang warga negara Inggris yang tinggal di Indonesia (maaf saya lupa namanya tapi dalam majalah yang saya baca ada namanya) dan memiliki istri seorang perempuan jawa (saya juga lupa namanya maaf), Warga negara Inggris tersebut memanggil istrinya dengan sebutan “dek” karena memang panggilan “dek” sudah menjadi tradisi di jawa biasanya untuk memanggil istri yang notabene sebagai ibu rumah tangga..
Pada suatu hari ketika sang suami sedang pergi bekerja sang istri bingung ingin memasak apa akhirnya dia teringat resep turun temurun keluarganya yang menggunakan bahan dari nangka muda tersebut..
Akhirnya mulai lah dia memasak, karena mungkin sudah sangat lapar sesampainya dirumah sang suami langsung menuju ke meja makan dan makan dengan lahapnya masakan yang dimasakkan istrinya tadi selesai makan sang suami brkata agak keras “good dek..” “it’s good dek” dengan ekspresi senang.. Sang istri terkejut dan mulai menceritakan ke tetangga dan teman-temannya kalau sang suami senang sekali dimasakkan resep turun temurun itu dan setiap kali selesai makan-makanan itu dia selalu bilang “good dek” dan dari situlah makanan itu mulai disebut GUDEG sebagai metomorfosis dari kata “good dek”.
Gudeg, makanan khas jogja ini adalah salah satu makanan khas yang diminati oleh beberapa orang, rasanya yang khas dan manis membuat orang mudah ingat dengan makanan yang satu ini, gudeg adalah buah nangka muda (gori) direbus di atas tungku sekitar 100 derajat celcius selama 24
jam untuk menguapkan kuahnya. Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek dipindang yang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas merupakan paduan sayur tempe dan sambal krecek.
Gori atau nangka muda, adalah bahan baku utama gudeg yang lebih umum dikenal. Sebab di masa lalu, bahan baku ini sangat mudah diperoleh di kebun-kebun milik masyarakat Jogyakarta, dulu orang Jogya hanya mengenal satu jenis gudeg, yakni gudeg basah. Gudeg kering dikenal setelahnya, sekitar 57-an tahun dari saat sekarang ini. Hal ini setelah orang-orang dari luar Jogja mulai membawanya sebagai oleh-oleh. Keuntungannya, gudeg pun tumbuh sebagai home industry makanan tradisional di Jogja.
Banyak wisatawan yang berkunjung ke Jogja dan rasanya kurang lengkap jika belum menyantap gudeg di tempat ini. Tidak hanya rasanya tapi juga kemasan gudeg atau oleh- oleh khas Jogja ini dikemas menarik dengan menggunakan ‘besek’ (tempat dari anyaman bambu) atau menggunakan ‘kendil’ (guci dari tanah liat yang dibakar). Melengkapi sajian nasi gudeg akan lebih pas disertai minuman teh gula batu. Dijamin Anda akan ketagihan.


Asal Mula Mie Ongklok

Mi (atau bakmi) ongklok adalah mi rebus khas kota Wonosobo dan sekitarnya. Mi rebus ini dibuat dengan racikan khusus menggunakan kol, potongan daun kucai, dan kuah kental berkanji yang disebut loh. Mi ini banyak dijajakan di berbagai warung dan rumah makan di kota tersebut. Pendampingnya biasanya adalah sate sapi, tempe kemul, serta keripik tahu.

Ongklok adalah semacam keranjang kecil dari anyaman bambu yang dipakai untuk membantu perebusan mi. Penggunaan alat bantu ini khas daerah setempat sehingga diberikanlah nama mi rebus ini sesuai dengan alat tersebut.Kenapa disebut Mie Ongklok? Ternyata karena sebelum disajikan mie ini diramu dengan sayuran kol segar dan potongan daun kucai. Kol dan daun kucai merupakan sayuran khas Wonosobo. Kucai sendiri adalah daun yang terkenal sebagai penurun darah tinggi.

Kemudian setelah dicampur di sebuah gayung dari bambu, campuran mie dan sayuran tadi dicelup-celupkan selama beberapa menit di air mendidih, dan cara inilah yang disebut diongklok. Mie yang secara berulang-ulang dicelupkan di air mendidih. Dan cara pembuatan mie yang seperti ini hanya ada di Wonosobo.Hanya beberapa menit, mie dan campuran sayuran tadi ditaruh di mangkuk dan diguyur kuah. Kuah mie ongklok inilah yang terkenal khas. Kuahnya berasal dari pati yang dicampur gula jawa, ebi, serta rempah. Supaya rasanya lebih maknyus, mie ongklok diguyur juga oleh bumbu kacang. “Agar lebih segar lagi, kami menambahkan merica dan bawang goreng,” kata Waluyo.Penyajian Mie Ongklokkhas Wonosobo sendiri juga tergolong cukup unik. Ada beberapa varian lauk yang disajikan bareng Mie Ongklok, diantaranya sate sapi, tempe kemul, dan geblek atau semacam makanan dari singkong.Ketika menyentuh lidah, kuah mie ongklok ini sangat segar. Kesegaran mie ongklok ini karena ada campuran ebi. Setelah dirasakan bersama lauknya, kelezatan pun bertambah. Sate sapi yang empuk dan tempe kemul yang renyah menyatu dengan rasa mie ongklok yang sedap dan segar. Hmmm rasanya sangat menggugah selera.Untuk harga Mie Ongklok sendiri sangatlah terjangkau sekali. 1 porsi Mie Ongklok hanya Rp 5.000. Sedangkan untuk Sate Sapi harganya Rp 15.000/10 tusuk sate dan untuk geblek&tempenya seharga Rp 500/bijinya. Jadi para penelusur nggak usah khawatir, karena tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menikmatinya.


Asal Mula Nasi Tiwul

 Nasi Tiwul adalah makanan pokok pengganti nasi beras yang dibuat dari ketela pohon atau singkong. Penduduk Pegunungan Kidul (Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul) dikenal mengonsumsi jenis makanan ini sehari-hari. Tiwul dibuat dari gaplek. Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya. Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Memang tiwul terkesan sebagai makanan NDESO, tapi tidak untuk sekarang.
NASI tiwul dan jagung biasanya identik dengan kemiskinan, tapi tidak demikian halnya dengan yang ada di Madiun, Jawa Timur. Perpaduan nasi tiwul dan jagung menjadi makanan favorit dan menyehatkan, khususnya bagi penderita diabetes, darah tinggi, dan sebagainya. wajar jika di era modern seperti sekarang, nasi tiwul dan jagung menjadi salah satu menu istimewa.

Bagi Anda penikmat nasi tiwul dan jagung, terdapat sebuah warung kecil di pinggir Jalan Raya Madiun, Surabaya, tepatnya di Desa Gunung Sari, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun yang secara khusus menyediakan menu
nasi tiwul dan jagung.


Asal Mula Wingko Babat
 
Awalnya seorang wanita Tionghoa kelahiran Tuban bernama Loe Lan Hwa bersama suaminya The Ek Tjong alias D.Mulyono beserta kedua anaknya mengungsi dari Kota Babat ke Semarang sekitar tahun 1944 karena suasana panas Perang Dunia II membuat kota Babat terimbas huruhara. Sang suami lalu mendapat pekerjaan di K.A. jurusan Tawang-Surabaya Pasar Turi, sedang sang istri lalu mencari usaha tambahan membuat dan menjual kue wingko, dan ternyata memang merupakan keahlian yang diturunkan dari ayahnya, Loe Soe Siang. Kue itu kemudian dijajakan di sekitar stasiun K.A Tawang Semarang, tempat suaminya bekerja.
Kue wingko buatan Loe Lan Hwa itu ternyata banyak disenangi warga Semarang. Banyak yang menanyakan nama kue tersebut. Di Babat sendiri kue tersebut hanya disebut kue wingko. Maka, untuk memenuhi keingintahuan pembelinya dan sekaligus sebagai kenang-kenangan terhadap Kota Babat tempat dia dibesarkan, Loe Lan Hwa menyebut kue buatannya itu sebagai wingko babat.
Dengan dijual di stasiun, tersebarlah kue itu ke mana-mana sebagai oleh-oleh. Sampai saat ini pun kue wingko babat masih tetap dicari oleh orang-orang yang berkunjung ke Semarang, untuk dibawa pulang sebagai salah satu makanan oleh-oleh.

Ilustrasi kereta api yang dibuat dalam kemasan wingkonya merupakan pilihan dari D.Mulyono, karena ketertarikannya dengan gambar kereta api pada sampul muka buku formulir isian saran di gerbong restorasi. Pada awalnya dia menggunakan gambar kereta api dengan sebutan Cap Spoor. Tapi kemudian, sesuai perkembangan bahasa Indonesia, kata-kata Cap Spoor diganti dengan Cap Kereta Api.
Kue wingko babad cap Kereta Api buatan Loe Lan Hwa itu semakin terkenal dan dicari banyak orang untuk oleh-oleh dari Semarang. Hal ini pun lalu menarik orang lain untuk mencoba membuat kue yang sama dengan menggunakan gambar kereta api juga sebagai mereknya, walau gambarnya tidak sama seratus persen. Keadaan ini cukup membingungkan konsumen.
Maka, untuk membedakan kue wingko babad buatannya dari buatan orang lain, Loe Lan Hwa kemudian mencantumkan nama suaminya “D. Mulyono”, dengan di belakangnya ditambah kata-kata “d/h Loe Soe Siang” (nama ayahnya) pada pembungkus wingko babad buatannya. Tambahan “d/h Loe Soe Siang” tersebut dimaksudkan sebagai penegasan bahwa wingko babad merek D Mulyono itu merupakan kelanjutan dari wingko babad yang dibuat Loe Soe Siang di Babad. (sumber:Kompas, 26 Mei 2003 & brosur wingko babat Cap Kereta Api)

Awal Mula Lumpia Semarang

Makanan khas kota Semarang ternyata memiliki kisah menarik di baliknya. Lumpia hadir pertama kali pada abad ke 19 dan merupakan salah satu contoh perpaduan budaya asli Tiong Hoa – Jawa yang serasi dalam cita rasa. Semua bermula dari saat Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian, memutuskan untuk tinggal dan menetap di Semarang dengan membuka bisnis makanan khas Tiong hoa berupa makanan pelengkap berisi daging babi dan rebung. Tjoa Thay Joe kemudian bertemu dengan Mbak Wasih, orang asli Jawa yang juga berjualan makanan yang hampir sama hanya saja rasanya lebih manis dan berisi kentang juga udang.




Seiring waktu bejalan, mereka bukannya bermusuhan, malah saling jatuh cinta dan kemudian menikah. Bisnis yang dijalankan pun akhirnya dilebur menjadi satu dengan sentuhan sentuhan perubahan yang malah makin melengkapi kesempurnaan rasa makanan lintas budaya Tiong Hoa – Jawa. Isi dari kulit lumpia dirubah menjadi ayam atau udang yang dicampur dengan rebung serta dibungkus dengan kulit lumpia. Keunggulannya adalah udang dan telurnya yang tidak amis, rebungnya juga manis, serta kulit lumia yang renyah jika digoreng.

Jajanan ini biasanya dpasarkan di Olympia Park, pasar malam Belanda tempat biasa mereka berjualan berdua. Oleh karena itu makanan ini dikenal dengan nama Lumpia. Usahanya makin besar, hingga dapat diteruskan oleh anak anaknya, mereka adalah Siem Gwan Sing, Siem Hwa Noi yang membuka cabang di Mataram dan Siem Swie Kiem yang meneruskan usaha warisan ayahnya di Gang Lombok no. 11. Dan juga Siem Siok Lien, anak dari Siem Swie Hie yang lebih dikenal dengan nama Lumpia Mbak Lien di Pemuda dan Pandanaran.

Sumber : http://fasadakuliner.blogspot.co.id/2016/03/6-sejarah-masakan-jawa-tengah.html
Share:

1 komentar: